Tulisan kali ini sedikit bersentuhan dengan dunia konstruksi
bangunan. Karena latar belakang saya bukan teknik sipil atau arsitektur, mohon
maaf bila ada kesalahan penggunaan nama dan istilah.
Jika kita melewati jalan-jalan utama ibukota, pastilah kita
menemui banyak gedung-gedung tinggi, dengan berbagai model dan gaya arsitektur.
Ada yang berbentuk standar, lurus dan simetris, namun ada juga yang kelihatan
tidak beraturan. Bagaimana pun bentuk dan modelnya, sebuah gedung pasti memiliki
pintu/gerbang dimana orang bisa masuk dan keluar, ruangan-ruangan, jendela/kaca
untuk mengatur pencahayaan di dalam (gedung-gedung baru hampir seluruhnya
ditutupi dengan kaca), dan tentunya atap gedung. Jika kita masuk ke dalam area gedung,
kita mungkin akan menemui lantai parkir gedung, fasilitas elevator, dan
sebagainya. Semua komponen gedung ini memiliki fungsinya masing-masing, namun membentuk
fungsi gedung secara keseluruhan.
Selain gedung-gedung yang
sudah jadi dan sudah digunakan, kita juga dapat menemui beberapa gedung yang
sedang dalam tahap konstruksi atau gedung setengah jadi. Ada yang baru beberapa
lantai, ada juga yang mungkin sudah “topping off” alias sudah mencapai lantai
teratas. Apapun itu, yang jelas terlihat adalah struktur utama dari gedung,
baik vertikal (kolom) maupun horisontal (lantai). Kita seperti sedang melihat
kerangka dari “tubuh” gedung tersebut, yang kelihatan tidak menarik karena belum
ditutupi apapun. Namun demikian struktur ini memperlihatkan bagaimana gedung
tersebut telah dirancang dan dbangun untuk dengan kokoh menopang semua benda
dan aktivitas yang nantinya akan berada di dalamnya.
Selain gedung yang sudah jadi
dan setengah jadi, jika beruntung mungkin kita dapat menemukan lokasi dimana
konstruksi gedung baru saja dimulai. Belum ada yang secara langsung dapat
dilihat, namun kalau kita perhatikan lebih dekat, kita dapat menemukan para
pekerja sedang membangun fondasi dari gedung, termasuk menanam tiang pancang
gedung ke dalam bumi.
Semakin tinggi gedung, semakin dalam pula fondasi tiang pancangnya. Meskipun setelah gedung selesai dibangun kita sama sekali tidak akan dapat melihat fondasi gedung, namun kita semua tahu bahwa pada fondasi inilah terletak kekuatan utama dari gedung di atasnya.
Semakin tinggi gedung, semakin dalam pula fondasi tiang pancangnya. Meskipun setelah gedung selesai dibangun kita sama sekali tidak akan dapat melihat fondasi gedung, namun kita semua tahu bahwa pada fondasi inilah terletak kekuatan utama dari gedung di atasnya.
Konsep konstruksi bangunan
yang secara garis besar terdiri dari 3 komponen, yaitu fondasi, struktural, dan fungsional
ini ternyata berlaku dalam banyak, jika tidak dapat dikatakan semua hal di muka
bumi. Termasuk kita manusia. Aspek fungsional atau faali yang kita miliki (gerak,
penglihatan, pernafasan, pencernaan), dapat terjadi karena ada aspek struktural
atau anatomis (rangka dan otot, organ tubuh, pembuluh darah dengan jantung
sebagai pompanya, dan jaringan saraf termasuk otak sebagai pusat kendalinya).
Namun demikian kita juga punya aspek fondasi, yaitu jiwa/roh.
Jika kita sedang menganalisa
sesuatu, apapun itu, sebaiknya kita tidak hanya melihat apa yang tampak di
permukaan, tapi juga apa yang berada di baliknya, dan bahkan apa yang menjadi
akar/dasar dari objek yang sedang kita analisa tersebut.
Contoh, jika kita melihat
problem kemacetan, kita tidak hanya cukup melihat pada apa yang kelihatan
(kurangnya badan jalan dibandingkan dengan jumlah kendaraan), tetapi mungkin
juga apa yang berada di balik fenomena tersebut (transportasi umum yang kurang
memadai), bahkan melihat apa yang menjadi akar masalahnya (urbanisasi akibat
ketidakseimbangan pertumbuhan pusat-pusat ekonomi antara kota dan daerah di
sekitarnya). Dengan demikian solusi yang diambil pun bukan sekedar solusi
simtomatik (batuk hanya diberikan obat pereda batuk), tetapi solusi yang
bersifat kausatif dan holistik (batuk akibat TB maka harus diberikan obat anti
TB plus perbaikan gaya hidup seperti tidak merokok, rutin berolahraga dan
konsumsi makanan bergizi).
Konsep ini juga dapat
diterapkan pada hal-hal yang bersifat progresif. Proyek pembangunan gedung,
selalu diawali dengan tahap konstruksi fondasi, kemudian struktur, baru komponen
fungsionalnya. Dinding dan kaca tidak dapat dipasang jika belum ada struktur
yang menyangganya, dan struktur tidak akan kokoh tanpa fondasi yang
mendasarinya.
Demikian juga dalam membangun
atau menerapkan sesuatu, apapun itu, seharusnya dimulai dari akar atau intinya,
bukan melompat pada apa yang kelihatan di luar. Jika ingin membangun sistem
perangkat lunak untuk mendukung suatu fungsi dalam suatu institusi, seharusnya
tidak langsung mulai dari fitur-fitur perangkat lunak tersebut. Mulailah dengan
melakukan analisa terhadap masalah yang terjadi, lakukan perbaikan prosedur (SOP)
yang berlangsung, jika sudah ada sistem inti (core system) perbaiki dan
optimalkan dulu sistem inti tersebut, baru kita bisa mulai memikirkan fitur-fitur
seperti apa yang sebaiknya kita bangun.
Dalam sudah pandang yang
lebih luas, dalam melakukan suatu perubahan kita tidak hanya membutuhkan
kapabilitas, melainkan juga perasaan krisis (sense of crisis), dan komitmen.
Kita tidak hanya perlu kemampuan, tetapi juga perlu merasakan adanya kebutuhan
yang mendesak untuk melakukan perubahan tersebut. Adanya alasan yang kuat dan
nyata (tidak dibuat-buat) untuk melakukan sesuatu menjadi struktur penyangga yang
kokoh dari kemampuan yang kita miliki. Dan semuanya itu didasari oleh fondasi
bernama komitmen, baik dari tingkat pribadi, tim, maupun institusi secara
keseluruhan. Komitmen untuk dengan penuh ketulusan dan kejujuran memperjuangkan
yang lebih baik untuk kepentingan bersama yang lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar