Senin, 11 Agustus 2014

Melihat Lebih Dalam

Tulisan kali ini sedikit bersentuhan dengan dunia konstruksi bangunan. Karena latar belakang saya bukan teknik sipil atau arsitektur, mohon maaf bila ada kesalahan penggunaan nama dan istilah.

Jika kita melewati jalan-jalan utama ibukota, pastilah kita menemui banyak gedung-gedung tinggi, dengan berbagai model dan gaya arsitektur. Ada yang berbentuk standar, lurus dan simetris, namun ada juga yang kelihatan tidak beraturan. Bagaimana pun bentuk dan modelnya, sebuah gedung pasti memiliki pintu/gerbang dimana orang bisa masuk dan keluar, ruangan-ruangan, jendela/kaca untuk mengatur pencahayaan di dalam (gedung-gedung baru hampir seluruhnya ditutupi dengan kaca), dan tentunya atap gedung. Jika kita masuk ke dalam area gedung, kita mungkin akan menemui lantai parkir gedung, fasilitas elevator, dan sebagainya. Semua komponen gedung ini memiliki fungsinya masing-masing, namun membentuk fungsi gedung secara keseluruhan.



Selain gedung-gedung yang sudah jadi dan sudah digunakan, kita juga dapat menemui beberapa gedung yang sedang dalam tahap konstruksi atau gedung setengah jadi. Ada yang baru beberapa lantai, ada juga yang mungkin sudah “topping off” alias sudah mencapai lantai teratas. Apapun itu, yang jelas terlihat adalah struktur utama dari gedung, baik vertikal (kolom) maupun horisontal (lantai). Kita seperti sedang melihat kerangka dari “tubuh” gedung tersebut, yang kelihatan tidak menarik karena belum ditutupi apapun. Namun demikian struktur ini memperlihatkan bagaimana gedung tersebut telah dirancang dan dbangun untuk dengan kokoh menopang semua benda dan aktivitas yang nantinya akan berada di dalamnya.



Selain gedung yang sudah jadi dan setengah jadi, jika beruntung mungkin kita dapat menemukan lokasi dimana konstruksi gedung baru saja dimulai. Belum ada yang secara langsung dapat dilihat, namun kalau kita perhatikan lebih dekat, kita dapat menemukan para pekerja sedang membangun fondasi dari gedung, termasuk menanam tiang pancang gedung ke dalam bumi.



Semakin tinggi gedung, semakin dalam pula fondasi tiang pancangnya. Meskipun setelah gedung selesai dibangun kita sama sekali tidak akan dapat melihat fondasi gedung, namun kita semua tahu bahwa pada fondasi inilah terletak kekuatan utama dari gedung di atasnya.



Konsep konstruksi bangunan yang secara garis besar terdiri dari 3 komponen, yaitu fondasi, struktural, dan fungsional ini ternyata berlaku dalam banyak, jika tidak dapat dikatakan semua hal di muka bumi. Termasuk kita manusia. Aspek fungsional atau faali yang kita miliki (gerak, penglihatan, pernafasan, pencernaan), dapat terjadi karena ada aspek struktural atau anatomis (rangka dan otot, organ tubuh, pembuluh darah dengan jantung sebagai pompanya, dan jaringan saraf termasuk otak sebagai pusat kendalinya). Namun demikian kita juga punya aspek fondasi, yaitu jiwa/roh.

Jika kita sedang menganalisa sesuatu, apapun itu, sebaiknya kita tidak hanya melihat apa yang tampak di permukaan, tapi juga apa yang berada di baliknya, dan bahkan apa yang menjadi akar/dasar dari objek yang sedang kita analisa tersebut.

Contoh, jika kita melihat problem kemacetan, kita tidak hanya cukup melihat pada apa yang kelihatan (kurangnya badan jalan dibandingkan dengan jumlah kendaraan), tetapi mungkin juga apa yang berada di balik fenomena tersebut (transportasi umum yang kurang memadai), bahkan melihat apa yang menjadi akar masalahnya (urbanisasi akibat ketidakseimbangan pertumbuhan pusat-pusat ekonomi antara kota dan daerah di sekitarnya). Dengan demikian solusi yang diambil pun bukan sekedar solusi simtomatik (batuk hanya diberikan obat pereda batuk), tetapi solusi yang bersifat kausatif dan holistik (batuk akibat TB maka harus diberikan obat anti TB plus perbaikan gaya hidup seperti tidak merokok, rutin berolahraga dan konsumsi makanan bergizi).

Konsep ini juga dapat diterapkan pada hal-hal yang bersifat progresif. Proyek pembangunan gedung, selalu diawali dengan tahap konstruksi fondasi, kemudian struktur, baru komponen fungsionalnya. Dinding dan kaca tidak dapat dipasang jika belum ada struktur yang menyangganya, dan struktur tidak akan kokoh tanpa fondasi yang mendasarinya.

Demikian juga dalam membangun atau menerapkan sesuatu, apapun itu, seharusnya dimulai dari akar atau intinya, bukan melompat pada apa yang kelihatan di luar. Jika ingin membangun sistem perangkat lunak untuk mendukung suatu fungsi dalam suatu institusi, seharusnya tidak langsung mulai dari fitur-fitur perangkat lunak tersebut. Mulailah dengan melakukan analisa terhadap masalah yang terjadi, lakukan perbaikan prosedur (SOP) yang berlangsung, jika sudah ada sistem inti (core system) perbaiki dan optimalkan dulu sistem inti tersebut, baru kita bisa mulai memikirkan fitur-fitur seperti apa yang sebaiknya kita bangun.

Dalam sudah pandang yang lebih luas, dalam melakukan suatu perubahan kita tidak hanya membutuhkan kapabilitas, melainkan juga perasaan krisis (sense of crisis), dan komitmen. Kita tidak hanya perlu kemampuan, tetapi juga perlu merasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk melakukan perubahan tersebut. Adanya alasan yang kuat dan nyata (tidak dibuat-buat) untuk melakukan sesuatu menjadi struktur penyangga yang kokoh dari kemampuan yang kita miliki. Dan semuanya itu didasari oleh fondasi bernama komitmen, baik dari tingkat pribadi, tim, maupun institusi secara keseluruhan. Komitmen untuk dengan penuh ketulusan dan kejujuran memperjuangkan yang lebih baik untuk kepentingan bersama yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar